Sunday, December 8, 2013

Fakultas di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta


Sunday, August 28, 2011

Dalam Al-Quran Terdapat Muhkam dan Mutasyabih


Allah berfirman:
"Suatu kitab yang ayat-ayatnya di-muhkam-kan." (QS 11:1)
"Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik, yaitu Al-Quran yang mutasyabih dan berulang-ulang, yang karenanya gemetarlah kulit orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka. " (QS 39:23)
"Dialah yang telah menurunkan Al-Quran kepadamu. Di antaranya ada ayat-ayat muhkam yang merupakan induk, dan lainnya mutasyabih. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabih untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: 'Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih. Semuanya itu dari sisi Tuhan kami. " (QS 3: 7)
Kita melihat ayat pertama menegaskan bahwa seluruh kan­dungan Al-Quran adalah muhkam. Maksudnya ialah bahwa ia itu kukuh dan jelas. Ayat kedua menjelaskan bahwa seluruh kandungan Al-Quran adalah mutasyabih. Maksudnya ialah bahwa ayat­ayatnya berada dalam satu ragam keindahan, gaya, kemanisan bahasa dan daya ungkap yang luar biasa. Sedangkan ayat ketiga membagi Al-Quran menjadi dua bagian: muhkam dan mutasyabih. Kesimpulan dari ayat-ayat ini adalah:
Pertama, muhkam adalah ayat-ayat yang maksud (isyarat)-nya jelas dan tegas, sehingga tidak menimbulkan kekeliruan pemaham­an, sedang ayat-ayat mutasyabih tidak demikian.
Kedua, setiap orang beriman yang kukuh imannya wajib ber­iman kepada ayat-ayat muhkam dan mengamalkannya. Ia juga wajib beriman kepada ayat-ayat mutasyabih, tetapi tidak untuk mengamalkannya. Orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabih dan mengamalkan apa-apa yang diinspirasikan oleh penakwilan mereka adalah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dan menyesatkan orang lain.

Mengapa AI-Quran Berbicara dengan Gaya Lahir dan Batin


Manusia, dalam kehidupannya yang pertama dan sementara di dunia ini, menyerupai gelembung di samudra materi. Setiap kegiatannya dalam arus keberadaannya bergantung kepada samudra materi yang luas itu, dan ia harus berurusan dengan materi. Indera lahir dan batinnya sibuk dengan materi, dan pikirannya hanya mengikuti pengetahuan inderawinya. Makan dan minum, duduk dan berdiri, berbicara dan mendengarkan, pergi dan datang, bergerak dan diam, dan semua perbuatan serta pekerjaan yang dilakukan manusia, berkenaan dengan materi, dan dia tidak memiliki pikiran lain.
Aktivitas spiritual manusia, seperti cinta, permusuhan, cita­cita, derajat yang tinggi dan lain-lain, sebagian besar digambarkannya dalam bentuk materi, seperti menyamakan manisnya kemenangan dengan manisnya gula, daya tarik persahabatan dengan daya tarik magnit, tingginya cita-cita dengan tingginya tempat atau bintang di langit, besar dan tingginya kedudukan dengan besarnya gunung, dan lain-lain. Di samping itu, kemampuan ma­nusia untuk mengetahui hal-hal spiritual, yang wilayahnya lebih luas daripada wilayah materi, berbeda-beda dan bertingkat-tingkat. Sebagian ada yang sulit mengetahui hal-hal spiritual, dan sebagian lagi ada yang dengan mudah dapat mengetahui hal-hal spiritual yang paling luas. Semakin mampu mengetahui hal-hal spiritual, semakin sedikit keterkaitan manusia kepada materi dan pesonanya. Semakin sedikit keterkaitannya kepada materi, semakin ber­tambah pengetahuannya tentang hal-hal spiritual. Hal ini berarti bahwa setiap manusia, berdasarkan fitrahnya, memiliki kemampu­an untuk mengetahui ini. Dan seandainya manusia tidak meniada­kan kemampuan ini, maka ia dapat dididik dan dikembangkan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa apa yang di­ketahui oleh manusia yang memiliki tingkat pemahaman yang tinggi, tidak dapat dikemukakan kepada manusia yang masih memiiliki tingkat pemahaman yang rendah. Seandainya kita berusaha mengemukakannya, maka reaksinya akan bertentangan, khususnya dalam hal-hal spiritual yang lebih penting daripada hal­hal materiil yang dapat diindera. Apabila hal-hal spiritual itu dikemukakan secara apa adanya kepada orang-orang awam, maka mereka akan memberikan kesimpulan yang bertentangan dengan kesimpulan yang benar dan diharapkan.
Tidak ada salahnya di sini bila kami memberikan contoh berupa suatu agama dan dualisme. Jika Upanisyad-Upanisyad Weda India, direnungkan secara mendalam dan ditelaah bagian-bagian tertentunya dengan bantuan bagian-bagian lainnya, maka akan diketahui bahwa kitab suci itu menuju kepada tauhid. Akan tetapi sayangnya, tujuan itu dikemukakan secara langsung dan tidak menurut tingkat pemikiran orang-orang awam, sehingga akibatnya orang-orang Hindu yang lemah akalnya berkecenderungan untuk menyembah bermacam-macam berhala. Karena itu, rahasia-rahasia metafisikal harus dikemukakan secara tertutup atau terselubung kepada orang-orang yang bersikap materialistik.
Dalam agama-agama lain, sebagian orang teralang dari banyak hak keagamaan, seperti kaum wanita dalam Hindu Brahma, yahudi dan Kristen, sedangkan dalam agama Islam kasus seperti di atas tidak ada. Hak-hak keagamaan dalam Islam adalah untuk semua, bukan milik suatu kelompok tertentu, sehingga tidak ada perbedaan antara kaum awam dan kaum khusus, pria dan wanita, dan antara yang berkulit hitam dan yang berkulit putih. Semuanya sama dalam pandangan Islam dan tak seorang pun mempunyai kelebihan atas yang lain. Allah berfirman:
"Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan." (QS 3:195)
"Hai manusia, sesungguhnya Kami meneiptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Dan Kami menjadakan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling berkenalan. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. " (QS 49:13)
Berdasarkan pemaparan di atas dapat kami katakan bahwa Al-Quran Suci memandang semua manusia bisa diajar, sehingga ia menggelarkan ajaran-ajarannya kepada semua manusia, makhluk yang mampu berjalan menuju kesempurnaan.
Mengingat terdapat perbedaan besar dalam memahami hal-hal spiritual, dan mengingat bahaya yang mungkin terjadi ketika ajaran-ajaran yang tinggi disampaikan, seperti telah kami sebutkan tadi, Al-Quran mengemukakan ajaran-ajarannya dengan penyam­paian sederhana yang sesuai untuk kebanyakan orang, dan ia berbicara dengan menggunakan bahasa yang dapat mereka pahami.
Cara seperti ini menyebabkan pengetahuan-pengetahuan yang tinggi terjelaskan dengan bahasa yang dapat dipahami oleh orang kebanyakan. Dalam cara ini arti lahir kata-kata berfungsi menyam­paikan hal-hal dalam bentuk yang dapat dimengerti. Dan hal-hal spiritual - yang tetap berada di balik tirai arti-arti lahir - akan menunjukkan diri menurut pemahaman mereka. Setiap orang akan mengetahui arti-arti itu menurut kadar kemampuan akalnya. Allah berfirman:
"Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memahaminya. Al-Quran itu ada dalam Ummul Kitab di sisi Kami, benar-benar tinggi nilainya dan amat banyak mengandung hikmah. " (QS 43:3-4)
Benar-benar tinggi nilainya' berarti bahwa ia tak terjangkau oleh manusia, dan 'mengandung hikmah' berarti bahwa akal manusia tak dapat menembusnya. Untuk memberikan perumpamaan ten­tang kebenaran, kepalsuan dan kemampuan akal, Allah berfirman
"Allah telah menurunkan air hujan dari langit, kemudian mengalirkan air di lembah-lembah menurut ukurannya. " (QS 13: 17)
Dan Rasulullah s.a.w. bersabda dalam sebuah hadis yang terkenal:
"Kami, golongan para Nabi, berbicara kepada manusia menurut kadar kemampuan akal mereka. "1)
Hasil lain dari cara ini ialah bahwa arti-arti lahir Al-Quran itu adalah seperti lambang dari arti-arti batin. Yakni, dalam hal ajaran­ajaran Allah yang berada di luar pemahaman orang kebanyakan ada bentuk-bentuk perumpaannya, sehingga ajaran-ajaran itu bisa dimengerti oleh orang kebanyakan. Allah berfirman:
"Sesungguhnya Kami telah mengulang-ulang kepada manusia dalam Al-Quran ini tiap-tiap macam perumpamaan, tetapi kebanyakan manusia mengingkarinya. " (QS 17:89)
"Itulah perumpamaan perumpamaan yang Kami buat bagi manusia dan tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu." (QS 29:43)
Di dalam Al-Quran terdapat banyak perumpamaan, tetapi ayat-ayat di atas dan ayat-ayat lain yang berkaitan dengan masalah ini adalah mutlak. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa seluruh ayat ini merupakan perumpamaan-perumpamaan tentang pengetahuan-pengetahuan tinggi yang merupakan maksud sejati Al-Quran.

Al-Quran Mempunyai Arti Lahir dan Batin

Allah berfirman:
"Sembahlah Allah, dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun." (QS 4:36)
Arti lahir ayat ini menunjukkan bahwa ayat tersebut melarang menyembah berhala, seperti ditunjukkan dalam firman Allah:
"Jauhilah berhala-berhala yang najis itu." (QS 22:30)
Tetapi, setelah merenungkan dan menganalisis, maka jelas bahwa alasan pelarangan menyembah berhala itu ialah karena penyembahan semacam itu merupakan bentuk kepatuhan kepada selain Allah. Hal ini tidak hanya berupa penyembahan kepada berhala saja, tetapi juga menaati setan, sebagaimana firman-Nya:
"Bukankah Kami telah memerintahkanmu, hai Bani Adam, agar kamu tidak menyembah setan." (QS 36:60)
Analisis lain menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara ketaatan kepada diri dan ketaatan kepada yanglain,karena meng­ikuti hawa nafsu merupakan penyembahan kepada selain Allah, sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah:
"Tidakkah engkau mengetahui orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya." (QS 45:23)
Dengan analisis lebih cermat, tahulah kita tentang keharusan untuk tidak berpaling kepada selain Allah, karena berpaling kepada selain-Nya itu berarti mengakui kemandiriannya dan tunduk kepadanya. Inilah yang dinamakan menyembah dan taat itu. Allah berfirman:
"Sesungguhnya telah Kami ciptakan banyak manusia dan jin. Mereka adalah orang-orang yang lupa." (QS 7:179)
Sepintas kilas ayat “janganlah kamu menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun" menunjukkan bahwa berhala-berhala tidak boleh disembah. Namun suatu pandangan Iebih mendalam menun­jukkan larangan untuk mengikuti hawa nafsu. Jika pandangan itu diperluas lagi, maka akan tampak larangan melupakan Allah dan berpaling kepada selain-Nya.
Penahapan ini, pertama tampak makna awal dari suatu ayat, kemudian tampak makna yang lebih luas daripada yang pertama dan begitu seterusnya, berlaku pada semua ayat AI-Quran.
Dengan merenungkan masalah ini, maka jelaslah makna hadis yang diriwayatkan dalam buku-buku hadis dan tafsir:
"Sesungguhnya Al-Quran mempunyai arti lahir dan batin. Dan batinnya terdiri atas satu sampai tujuh batin.
Atas dasar inilah AI-Quran mempunyai makna lahir (zhahr) dan batin (bathn), dan kedua makna tersebut sama-sama merupa­kan maksud. Hanya saja keduanya terjadi secara memanjang, tidak melebar, karena maksud makna lahir tidak menafikan maksud makna batin, dan maksud makna batin tidak menafikan maksud makna lahir.

Al-Quran Mandiri dalam Penalarannya

AI-Quran menggunakan suatu bahasa yang, seperti semua bahasa manusia, memaparkan secara jelas makna-makna yang di­maksudkannya dan konsep-konsep yang diinginkannya, serta tidak ada kesamaran di dalamnya bagi orang-orang yang mendengarkan penalarannya. Tidak ada bukti bahwa maksud AI-Quran tidak seperti arti kata-kata Arabnya. Bukti bahwa Al-Quran itu sederha­na dan jelas ialah bahwa setiap orang yang mengetahui bahasa Arab dapat mengetahui makna ayat-ayatnya persis sebagaimana ia mengetahui makna setiap perkataan Arab. Di samping itu, kami menemukan dalam banyak ayat titah-titah yang ditujukan kepada kelompok tertentu seperti Bani Israil, orang-orang beriman atau kafir. Dan dalam beberapa ayat, Al-Quran bertitah kepada seluruh manusia, menghujah dan menantang mereka untuk mendatang­kan yang menyamai AI-Quran, jika mereka meragukan bahwa Al-Quran datang dari sisi Allah. Tentu tidak dapat dibenarkan berbicara kepada manusia dengan kata-kata yang tidak bisa dipahami maknanya dengan jelas oleh mereka. Tidak dibenarkan pula mengajukan tantangan kepada mereka dengan sesuatu yang tidak di­pahami maknanya oleh mereka. Allah berfirman:
"Tidakkah mereka merenungkan Al-Quran, ataukah hati mereka tertutup." (QS 47:24)
Tidakkah mereka merenungkan Al-Quran? Seandainya ia datang dari sisi selain Allah, tentu mereka menemukan banyak pertentangan di dalamnya." (QS 4:82)
Dua ayat ini menunjukkan keharusan merenungkan (me­mahami) Al-Quran, Perenungan terhadap Al-Quran akan dapat menghilangkan gambaran yang sepintas lalu ayat-ayatnya tampak saling bertentangan. Bila maksud ayat-ayat itu tidak jelas, tentu saja perintah untuk merenungkan dan memikirkan Al-Quran itu merupakan sesuatu yang sia-sia. Begitu pula, tidak akan ada tempat untuk menganalisis pertentangan-pertentangan lahiriah antarayat dengan jalan merenungkan dan memikirkan.
Adapun pemyataan bahwa tidak ada alasan atau sebab lahiriah untuk menafikan makna-makna lahiriah Al-Quran, sebagaimana telah kami sebutkan, karena tidak adanya dalil untuk hal itu se­lain persangkaan sebagian orang bahwa kita - dalam memahami maksud-maksud Al-Quran - harus merujuk kepada hadis Rasulul­lah s.a.w. atau Ahlul Bait-nya a.s. Ini merupakan suatu persangka­an kosong dan tidak dapat diterima, karena sabda-sabda Rasulullah s.a.w. dan para Imam a.s. itu sendiri harus disimpulkan dari Al­Quran. Maka bagaimana mungkin menggantungkan makna-makna lahiriah AI-Quran kepada sabda mereka? Bahkan dapat kami tambahkan bahwa dasar kenabian dan imamah diberikan oleh Al-Quran.
Apa yang telah kami sebutkan ini tidak bertentangan dengan kenyataan bahwa Rasulullah dan para Imam ditugaskan untuk menjelaskan perincian undang-undang dan hukum-hukum Allah (syariat) yang tidak terdapat dalam arti-arti lahiriah Al-Quran, disamping menjadi pembimbing untuk memahami pengetahuan­pengetahuan Kitab Suci ini, sebagaimana tampak dari ayat-ayat berikut ini:
"Kami menurunkan AI-Quran kepadamu agar engkau menjelas­kan kepada manusia apa ynng telah diturunkan kepada mereka." (QS 16:44)
"Apa yang dibawa oleh Rasulullah, ambillah, dan apa yang kamu dilarang olehnya, tinggalkanlah." (QS 59:7)
"Kami tidak mengutus seorang Rasul pun kecuali agar ditaati dengan izin Allah." (QS 4:64)
"Dialah yang mengutus kepada orang-orang yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka, dan mengajarkan Al-Quran dan hikmah kepada mereka." (QS 62:2)
Yang dapat dipahami dari ayat-ayaf ini ialah bahwa Nabi Muhammad s.a.w. adalah orang yang menjelaskan bagian-bagian dan perincian syariat, dan dialah yang diajari tentang Al-Quran oleh Allah. Dan pernyataan hadits tsaqalain menunjukkan bahwa para Imam adalah pengganti Rasulullah dalam hal itu. Ini tidak menafikan dapat diketahuinya maksud Al-Quran melalui arti-arti lahirnya oleh sebagian orang yang menjadi murid guiu-guru sejati.